SEKILAS TENTANG KAIN TENUN
Tenunan yang dikembangkan oleh setiap suku/ etnis di Nusa Tenggara
Timur merupakan seni kerajinan tangan turun-temurun yang diajarkan
kepada anak cucu demi kelestarian seni tenun tersebut. Motif tenunan
yang dipakai seseorang akan dikenal atau sebagai ciri khas dari suku
atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang akan senang dan bangga
mengenakan tenunan asal sukunya.
Pada suku atau daerah tertentu, corak/motif binatang atau orang-orang
lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda,
rusa, udang, naga, singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain,
sedangkan Timor Tengah Selatan banyak menonjolkan corak motif burung,
cecak, buaya dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif
bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif
binatang hanya sebagai pemanisnya saja.
Kain tenun atau tekstil tradisional dari Nusa Tenggara Timur secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti :
1). Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.
2). Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.
3). Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin)
4). Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.
5). Fungsi hukum adat sbg denda adat utk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu.
6). Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.
7). Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
8). Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/ desain tertentu
akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain.
9). Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)
Dalam masyarakat tradisional Nusa Tenggara Timur tenunan sebagai
harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini
sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/ penuangan motif
tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi
memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari
nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam
hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan
memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.
Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk
kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll),
hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain
sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan
konsumen.
Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber
pendapatan (UP2K) masyarakat Nusa Tenggara Timur terutama masyarakat di
pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya
untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan
kebutuhan busananya.
Jika dilihat dari
proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Nusa Tenggara Timur dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni :
1. Tenun Ikat ; disebut tenun ikat karena pembentukan motifnya
melalui proses pengikatan benang. Berbeda dengan daerah lain di
Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain maka benang pakannya yang
diikat, sedangkan tenun ikat di Nusa Tenggara Timur, untuk
menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang Lungsi.
2. Tenun Buna ; istilah daerah setempat (Timor Tengah Utara) “tenunan
buna” yang maksudnya menenun untuk membuat corak atau ragam hias/motif
pada kain mempergunakan benang yang terlebih dahulu telah diwarnai.
3. Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; Disebut juga tenun Sotis atau
tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun
Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.
Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di
Nusa Tenggara Timur terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung,
selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya
warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan
biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat/ pengrajin dahulu selalu
memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman
lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan
warna putih, kuning langsat, merah mereon.
Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Nusa Tenggara
Timur telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan
sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan
tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna
yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat
warna reaktif.
Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat
warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan
untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk
mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.
Dari ketiga jenis tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut :
1). Tenun Ikat ; penyebarannya hampir merata disemua Kabupaten di
Nusa Tenggara Timur kecuali Kabupaten Manggarai dan sebagian Kabupaten
Ngada.
2). Tenun Buna ; Penyebarannya di Kabupaten Kupang, Timor Tengah
Selatan, Belu dan yang paling banyak adalah di Kabupaten Timor Tengah
Utara.
3). Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; terdapat di Kabupaten/ Kota
Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Flores
Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur dan Sumba Barat.
Kedudukan masyarakat flores
Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa pulau ini
dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam
komunitas-komunitas yang hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis
menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan
ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh ( Barlow,
1989; Taum, 1997b ). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam
sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia.
Budaya Flores yang beraneka ragam juga dapat menjadi daya tarik
tersendiri bagi para wisatawan. Aneka tarian, lagu daerah, alat musik
dan berbagai produk budaya lainnya merupakan kekayaan Flores yang
menuntut warganya untuk selalu melestarikannya. Upacara-upacara adat
yang unik juga dapat memberikan ciri khas bagi daerah Flores. Apabila
potensi-potensi di bidang budaya ini dikembangkan, akan dapat memajukan
dan meningkatkan perekonomian Flores di masa depan. Pembelajaran,
pendalaman, pengembangan dan pelestarian terhadap budaya-budaya Flores
harus mulai dilakukan sekarang, terutama oleh masyarakat Flores
sendiri.
Suku bangsa Flores dianggap merupakan percampuran etnis antara
Melayu, Melanesia, dan Portugis. maka interaksi dengan kebudayaan
Portugis pernah terjadi dalam kebudayaan Flores, baik melalui Genetik,
Agama, dan Budaya.
Berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat flores, suku Mehen di
Flores Timur mempertahankan eksistensinya yang dinilainya sebagai tuan
tanah, jadilah mereka pendekar-pendekar perang, yang dibantu suku
Ketawo. Mata pencaharian orang Flotim/Lamaholot yang utama terlihat
dalam ungkapan sebagai berikut:
Ola tugu, here happen, Lua watana, Gere Kiwan, Pau kewa heka ana,
Geleka lewo gewayan, toran murin laran.
Artinya: Bekerja di ladang, Mengiris tuak, berkerang (mencari siput
dilaut), berkarya di gunung, melayani/memberi hidup keluarga (istri dan
anak-anak) mengabdi kepada pertiwi/tanah air, menerima tamu asing.
Mata pencaharian masyarakat Sikka umumnya pertanian. Adapun kelender pertanian sbb:
Bulan Wulan Waran – More Duru (Okt-Nov) yaitu bulan untuk
membersihkan kebun, menanam, menyusul di bulan Bleke Gete-Bleke Doi –
Kowo (Januari, Pebuari, Maret) masa untuk menyiangi kebun (padi dan
jagung) serta memetik, dalam bulan Balu Goit – Balu Epan – Blepo (April
s/d Juni) masa untuk memetik dan menanam palawija /kacang-kacangan.
Sedangkan pada akhir kelender kerja pertanian yaitu bulan Pupun Porun
Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus – September).
Flores khususnya Manggarai dikenal penghasil kopi dan vanili.
Selain bermata pencaharian di bidang pertanian, perkebunan maupun
perikanan,di flores juga terdapat anggota masyarakat yang berprofesi
sebagai wiraswasta dan pegawai negeri.
pilih berdasarkan kabupaten
Lembata
Flores Timur
Sikka
Ende
Nagekeo
Ngada
Manggarai Timur
Manggarai
Manggarai Barat
Adapun beberapa keutamaan orang flores antara lain :
* Percaya kepada Tuhan yang Kuasa misalnya: dalam doa-doa orang
flores “Lera Wulan Tanah Ekan guti na-en”: Tuhan mengambil pulang
miliknya.
* Kejujuran dan Keadilan Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri
seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan lainnya yang juga
dijunjung tinggi orang Flores seperti kejujuran dan keadilan. Nilai
ini muncul sebagai keyakinan bahwa ‘Tuhan mempunyai mata’ (Lera Wulan
Tanah Ekan no-on matan) . Tuhan melihat semua perbuatan manusia,
sekalipun tersembunyi. Dia menghukum yang jahat dan mengganjar yang
baik.
* Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual studi Graham
(1985) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat
Flores Timur, ada empat aspek yang memainkan peranan penting, yaitu
episode-episode dalam mitos asal-usul, dan tiga simbol ritual lainnya
yakni nuba nara (altar/batu pemujaan), korke (rumah adat), dan namang
(tempat menari yang biasanya terletak di halaman korke). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa orang Flores memiliki penghargaan yang sangat
tinggi akan adat-istiadat dan upacara-upacara ritual warisan
nenek-moyangnya.
* Rasa Kesatuan Orang Flores. Ikatan kolektif yang sangat kuat dalam
masyarakat Lamaholot terjadi pada tingkat kampung atau Lewo.
Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterikatan yang khas dengan
Lewotanah atau tempat tinggal. Melalui ukuran kampung, mereka
membedakan dirinya dengan orang dari kampung lainnya. Kampung merupakan
kelompok sosial terbesar, dan kesadaran berkelompok hampir tidak
melampaui batas kampung (Vatter, 1984: 72-73). Di Flores sebetulnya
tidak ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian
genealogis, historis maupun politis